Rumusan I: Moh. Yamin, Mr.
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945
beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai
bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik
Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Mohammad Yamin
menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam
pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
Rumusan Pidato
Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu[1]:
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri ke-Tuhanan
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan Rakyat
Rumusan Tertulis
Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis
mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada
BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan
sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu[2]:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kebangsaan Persatuan Indonesia
- Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
- Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan II: Soekarno, Ir.
Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, diantaranya adalah Ir Sukarno[3].
Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai
hari lahir Pancasila. Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan
tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip,
dan satu prinsip. Sukarno pula-lah yang mengemukakan dan menggunakan
istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya
ini atas saran seorang ahli bahasa (Muhammad Yamin) yang duduk di
sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan
Pancasila, Trisila, dan Ekasila[4].
Rumusan Pancasila [5]
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
- Mufakat,-atau demokrasi
- Kesejahteraan sosial
- ke-Tuhanan yang maha esa
Rumusan Trisila [6]
- Socio-nationalisme
- Socio-demokratie
- ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila [7]
- Gotong-Royong
Rumusan III: Piagam Jakarta
Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945. Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli 1945,
delapan orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang
bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang
telah masuk. Pada 22 Juni 1945
panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI
dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia
kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan "Panitia Sembilan") yang
bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler
dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama.
Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan
tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.
Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta
(Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar
negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan
Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan
kemerdekaan/proklamasi/declaration of independence). Rumusan ini
merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para "Pendiri
Bangsa".
Rumusan kalimat [8]
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Alternatif pembacaan
Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara pada Piagam Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan dalam BPUPKI
sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak kalimat
terakhir dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat.
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan,
- [A] dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar[:]
-
- [A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab,
- [A.2] persatuan Indonesia, dan
- [A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan[;]
-
- serta
- [B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan populer
Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan IV: BPUPKI
Pada sesi kedua persidangan BPUPKI
yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan
Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam
rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945. Dokumen “Rancangan Pembukaan
Hukum Dasar” tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah dokumen
berbeda yaitu Declaration of Independence (berasal dari paragraf 1-3
yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf
4 tanpa perluasan sedikitpun). Rumusan yang diterima oleh rapat pleno
BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam
Jakarta yaitu dengan menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat
terakhir. Rumusan rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang
merupakan rumusan resmi pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas[9].
Rumusan kalimat [10]
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan V: PPKI
Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia
(lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang)
menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari
tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun
(Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar
negara. Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan,
Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo,
keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi
mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sebuah “emergency exit” yang hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno
terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus
Hadikusumo. Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan
nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang
nantinya dikenal dengan UUD 1945.
Rumusan kalimat [11]
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan VI: Konstitusi RIS
Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik Indonesi semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik Indonesia
yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk
negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat
(RIS) dan hanya menjadi sebuah negara bagian saja. Walaupun UUD yang
disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI
Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah Konstitusi Federal
(Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara bagian dari
RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat dalam Mukaddimah
(pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui pada 14 Desember 1949 oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.
Rumusan kalimat [12]
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan keadilan sosial
Rumusan VII: UUD Sementara
Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan
kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan
diri dan bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta. Pada Mei 1950
hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI Yogyakarta, NIT[13], dan NST[14].
Setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif RI Yogyakarta dan RIS,
sebagai kuasa dari NIT dan NST, menyetujui pembentukan negara kesatuan
dan mengadakan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara. Perubahan
tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang
Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi
Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37)
yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini
terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD
Sementara Tahun 1950.
Rumusan kalimat[15]
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan keadilan sosial
Rumusan VIII: UUD 1945
Kegagalan Konstituante
untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara yang
disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara. Untuk
itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno, mengambil
langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya
menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18
Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara.
Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang
terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang
digunakan.
Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga
tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara tahun
1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, diantaranya:
- Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
- Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Rumusan kalimat [16]
“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan IX: Versi Berbeda[17]
Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah
membuat rumusan yang agak sedikit berbeda. Rumusan ini terdapat dalam
lampiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
Rumusan
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan sosial.
Rumusan X: Versi Populer[18]
Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar
dan diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi
populer inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di
dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya
sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan”
serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat
terakhir.
Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya
Pancakarsa)
Rumusan
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Epilog
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1
Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 jo Pasal
I Aturan Tambahan UUD 1945).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar